Tukeran Link Yuk!

Tukeran Link | Backlink | Link Exchange

Random Post

17.7.13

GAYATRI MANTRAM dalam Keajaiban Penyembuhan dengan Doa



Petunjuk dalam Melakukan Penyembuhan dengan Doa

1)       Penyembuh dengan doa, sangat penting menjalani periode pemurnian atau memperbaiki wataknya. Turunnya energi penyembuhan bersama-sama dengan energi spritual, akan melipatgandakan sifat-sifat positif penyembuh sampai beberapa kali. Oleh karena itu, dibutuhkan pemurnian diri melalui latihan renungan batin setiap hari. Seseorang dengan getaran halus atau lebih tinggi, cendrung menarik makhluk dengan getaran serupa atau lebih tinggi.
2)      Penyembuh dengan doa dianjurkan bermeditasi dan berdoa (japa) secara teratur, memohon kepada Tuhan agar dijadikan alat penyembuh-Nya.
3)      Selama melakukan penyembuhan dengan doa, sangatlah penting untuk berkonsentrasi pada chakra mahkota dan pusat telapak tangan yang digunakan untuk menyembuhkan.

Prosedur Penyembuhan dengan Doa

1)       Meletakkan tangan di bagian yang sakit atau di chakra ajna, chakra dahi, chakra mahkota ataupun chakra jantung belakang.

Om bhur bhuvah svah. Tat savitur varenyam
Bhargo devasya dhìmahi. Dhiyo yo nah pracodayàt.
Tuhan Yang Maha Penolong, Pemberi Kehidupan, dan Kebahagiaan
Oh Tuhan aku menerima perlindungan-Mu
Berikanlah aku budi yang baik dan anugrah-Mu

2)      Doa ini diulang-ulang beberapa kali hingga rasa sakit berkurang atau hilang sama sekali, dengan konsentrasi dan keyakinan penuh. Doa dilakukan dengan rendah hati, tulus dan rasa hormat.

(a)    Sebelum melakukan perawatan, mintalah pasien untuk berdoa mohon kesembuhan  dari Tuhan dengan kata-kata sendiri.
(b)    Selaraskan diri agar dapat menerima bimbingan intuitif.
(c)    Setelah mengakhiri perawatan, penyembuh maupuan pasien harus mengucapkan terima kasih kepada Hyang Widi.

5 Lima)   Kebebasan Dalam Ajaran Hindu

1)      Kebebasan  Individu adalah bebas dari rintangan(kleúa):
(a) Kebodohan (avidya); 
(b) Keakuan(asmita); 
(c) Keterikatan (raga); 
(d) Kemurkaan (dvesa):
(e)Ketakutan terhadap kematian (abhinivesa).
                                
                   2)  Kebebasan Dalam Melaksanakan Pemujaan:
(a)-Pemujaan(meditasi),-Konkrit (saguna),-Upasana atau bhaktiyoga yaitu yoga ketaatan-Meditasi dengan simbol (pratika) seperti sesaji, patung, saligrama, gambar (Rama, Krsna, Dewi Gayatri);
(b) Pemujaan (meditasi)abstrak (nirguna upasana atau jnana yoga yaitu yoga pengetahuan) adalah meditasi tanpa kelengkapan seperti langit biru, ether, sinar matahari;
(c) Memuja Ista Dewata seperti Wisnu, Siwa atau lainnya,namun semuanya memuliakan Iswara (Tuhan).

3)     Kebebasan Dalam Melaksanakan Pekerjaan:
(a) Pekerjaan yang dilakukan sebagai kurban suci untuk Tuhan, kalau tidak, pekerjaan mengakibatkan ikatan di dunia ini.
(b) Tidak terikat akan hasil pekerjaan,selalu bersyukur seberapapun yang diperoleh;
(c) Pekerjaan yang dilakukan sebagai suatu pengabdian kepada Tuhan dan menjadi seorang dermawan.
                             
                         4)  Kebeasan (Moksa) Dalam Hidup (Jiwanmukta)
Mengetahui Tuhan berarti mengetahui segala jenis pengetahuan dan dunia ini.
Setelah mengetahui Tuhan, manusia akan menjadi jivan mukta atau tidak berpengaruh terhadap duka sebesar apapun, karena yang dirasakan hanyalah kebahagiaan sempurna (suka tanpawali duka).

5)     Kebebasan (Moksa) Tidak Menjelma Kembali
Merupakan tujuan hidup terakhir yaitu untuk mencapai kebahagiaan abadi dalam penunggalan dengan Tuhan melalui catur yoga atau empat jalan yaitu karma yoga, bhakti yoga, jnana yoga, dan dhyàna yoga atau raja yoga, sesuai kemauan, kemampuan dan keyakinan seseorang.

Sumber : Ritual Hindu

10.6.13

Weda Sumber Ajaran Agama Hindu

Pengertian Weda 

Sumber ajaran agama Hindu adalah Kitab Suci Weda, yaitu kitab yang berisikan ajaran kesucian yang diwahyukan oleh Hyang Widhi Wasa melalui para Maha Rsi. Weda merupakan jiwa yang meresapi seluruh ajaran Hindu, laksana sumber air yang mengalir terus melalui sungai-sungai yang amat panjang dalam sepanjang abad. Weda adalah sabda suci atau wahyu Tuhan Yang Maha Esa.
Weda secara ethimologinya berasal dari kata "Vid" (bahasa sansekerta), yang artinya mengetahui atau pengetahuan. Weda adalah ilmu pengetahuan suci yang maha sempurna dan kekal abadi serta berasal dari Hyang Widhi Wasa. Kitab Suci Weda dikenal pula dengan Sruti, yang artinya bahwa kitab suci Weda adalah wahyu yang diterima melalui pendengaran suci dengan kemekaran intuisi para maha Rsi. Juga disebut kitab mantra karena memuat nyanyian-nyanyian pujaan. Dengan demikian yang dimaksud dengan Weda adalah Sruti dan merupakan kitab yang tidak boleh diragukan kebenarannya dan berasal dari Hyang Widhi Wasa.

Bahasa Weda

Bahasa yang dipergunakan dalam Weda disebut bahasa Sansekerta, Nama sansekerta dipopulerkan oleh maharsi Panini, yaitu seorang penulis Tata Bahasa Sensekerta yang berjudul Astadhyayi yang sampai kini masih menjadi buku pedoman pokok dalam mempelajari Sansekerta.
Sebelum nama Sansekerta menjadi populer, maka bahasa yang dipergunakan dalam Weda dikenal dengan nama Daiwi Wak (bahasa/sabda Dewata). Tokoh yang merintis penggunaan tatabahasa Sansekerta ialah Rsi Panini. Kemudian dilanjutkan oleh Rsi Patanjali dengan karyanya adalah kitab Bhasa. Jejak Patanjali diikuti pula oleh Rsi Wararuci.

Pembagian dan Isi Weda

Weda adalah kitab suci yang mencakup berbagai aspek kehidupan yang diperlukan oleh manusia. Berdasarkan materi, isi dan luas lingkupnya, maka jenis buku weda itu banyak. maha Rsi Manu membagi jenis isi Weda itu ke dalam dua kelompok besar yaitu Weda Sruti dan Weda Smerti. Pembagian ini juga dipergunakan untuk menamakan semua jenis buku yang dikelompokkan sebagai kitab Weda, baik yang telah berkembang dan tumbuh menurut tafsir sebagaimana dilakukan secara turun temurun menurut tradisi maupun sebagai wahyu yang berlaku secara institusional ilmiah. Kelompok Weda Sruti isinya hanya memuat wahyu, sedangkan kelompok Smerti isinya bersumber dari Weda Sruti, jadi merupakan manual, yakni buku pedoman yang sisinya tidak bertentangan dengan Sruti. Baik Sruti maupun Smerti, keduanya adalah sumber ajaran agama Hindu yang tidak boleh diragukan kebenarannya. Agaknya sloka berikut ini mempertegas pernyataan di atas.

    Srutistu wedo wijneyo dharma
    sastram tu wai smerth,
    te sarrtheswamimamsye tab
    hyam dharmohi nirbabhau. (M. Dh.11.1o).
 Artinya:
Sesungguhnya Sruti adalah Weda, demikian pula Smrti itu adalah dharma sastra, keduanya harus tidak boleh diragukan dalam hal apapun juga karena keduanya adalah kitab suci yang menjadi sumber ajaran agama Hindu. (Dharma)
     Weda khilo dharma mulam
    smrti sile ca tad widam,
    acarasca iwa sadhunam
    atmanastustireqaca. (M. Dh. II.6).
Artinya:
Seluruh Weda merupakan sumber utama dari pada agama Hindu (Dharma), kemudian barulah Smerti di samping Sila (kebiasaan- kebiasaan yang baik dari orang-orang yang menghayati Weda). dan kemudian acara yaitu tradisi dari orang-orang suci serta akhirnya Atmasturi (rasa puas diri sendiri).
     Srutir wedah samakhyato
    dharmasastram tu wai smrth,
    te sarwatheswam imamsye
    tabhyam dharmo winir bhrtah. (S.S.37).
Artinya:
Ketahuilah olehmu Sruti itu adalah Weda (dan) Smerti itu sesungguhnya adalah dharmasastra; keduanya harus diyakini kebenarannya dan dijadikan jalan serta dituruti agar sempurnalah dalam dharma itu.
Dari sloka-sloka diatas, maka tegaslah bahwa Sruti dan Smerti merupakan dasar utama ajaran Hindu yang kebenarannya tidak boleh dibantah. Sruti dan Smerti merupakan dasar yang harus dipegang teguh, supaya dituruti ajarannya untuk setiap usaha.
Untuk mempermudah sistem pembahasan materi isi Weda, maka dibawah ini akan diuraikan tiap-tiap bagian dari Weda itu sebagai berikut::

SRUTI

Sruti adalah kitab wahyu yang diturunkan secara langsung oleh Tuhan (Hyang Widhi Wasa) melalui para maha Rsi. Sruti adalah Weda yang sebenarnya (originair) yang diterima melalui pendengaran, yang diturunkan sesuai periodesasinya dalam empat kelompok atau himpunan. Oleh karena itu Weda Sruti disebut juga Catur Weda atau Catur Weda Samhita (Samhita artinya himpunan). Adapun kitab-kitab Catur Weda tersebut adalah:


Rg. Weda atau Rg Weda Samhita.

Adalah wahyu yang paling pertama diturunkan sehingga merupakan Weda yang tertua. Rg Weda berisikan nyanyian-nyanyian pujaan, terdiri dari 10.552 mantra dan seluruhnya terbagi dalam 10 mandala. Mandala II sampai dengan VIII, disamping menguraikan tentang wahyu juga menyebutkan Sapta Rsi sebagai penerima wahyu. Wahyu Rg Weda dikumpulkan atau dihimpun oleh Rsi Pulaha.

Sama Weda Samhita.

Adalah Weda yang merupakan kumpulan mantra dan memuat ajaran mengenai lagu-lagu pujaan. Sama Weda terdiri dari 1.875 mantra. Wahyu Sama Weda dihimpun oleh Rsi Jaimini.

Yajur Weda Samhita.

Adalah Weda yang terdiri atas mantra-mantra dan sebagian besar berasal dari Rg. Weda. Yajur Weda memuat ajaran mengenai pokok-pokok yajus. Keseluruhan mantranya berjumlah 1.975 mantra. Yajur Weda terdiri atas dua aliran, yaitu Yayur Weda Putih dan Yayur Weda Hitam. Wahyu Yayur Weda dihimpun oleh Rsi Waisampayana.

Atharwa Weda Samhita

Adalah kumpulan mantra-mantra yang memuat ajaran yang bersifat magis. Atharwa Weda terdiri dari 5.987 mantra, yang juga banyak berasal dari Rg. Weda. Isinya adalah doa-doa untuk kehidupan sehari-hari seperti mohon kesembuhan dan lain-lain. Wahyu Atharwa Weda dihimpun oleh Rsi Sumantu.
Sebagaimana nama-nama tempat yang disebutkan dalam Rg. Weda maka dapat diperkirakan bahwa wahyu Rg Weda dikodifikasikan di daerah Punjab. Sedangkan ketiga Weda yang lain (Sama, Yayur, dan Atharwa Weda), dikodifikasikan di daerah Doab (daerah dua sungai yakni lembah sungai Gangga dan Yamuna.

Masing-masing bagian Catur Weda memiliki kitab-kitab Brahmana yang isinya adalah penjelasan tentang bagaimana mempergunakan mantra dalam rangkain upacara. Disamping kitab Brahmana, Kitab-kitab Catur Weda juga memiliki Aranyaka dan Upanisad.
Kitab Aranyaka isinya adalah penjelasan-penjelasan terhadap bagian mantra dan Brahmana. Sedangkan kitab Upanisad mengandung ajaran filsafat, yang berisikan mengenai bagaimana cara melenyapkan awidya (kebodohan), menguraikan tentang hubungan Atman dengan Brahman serta mengupas tentang tabir rahasia alam semesta dengan segala isinya. Kitab-kitab brahmana digolongkan ke dalam Karma Kandha sedangkan kitab-kitab Upanishad digolonglan ke dalam Jnana Kanda.

SMERTI

Smerti adalah Weda yang disusun kembali berdasarkan ingatan. Penyusunan ini didasarkan atas pengelompokan isi materi secara sistematis menurut bidang profesi. Secara garis besarnya Smerti dapat digolongkan ke dalam dua kelompok besar, yakni kelompok Wedangga (Sadangga), dan kelompok Upaweda.

Kelompok Wedangga:

Kelompok ini disebut juga Sadangga. Wedangga terdiri dari enam bidang Weda yaitu:
(1).Siksa (Phonetika)
Isinya memuat petunjuk-petunjuk tentang cara tepat dalam pengucapan mantra serta rendah tekanan suara.
(2).Wyakarana (Tata Bahasa)
Merupakan suplemen batang tubuh Weda dan dianggap sangat penting serta menentukan, karena untuk mengerti dan menghayati Weda Sruti, tidak mungkin tanpa bantuan pengertian dan bahasa yang benar.
(3).Chanda (Lagu)
Adalah cabang Weda yang khusus membahas aspek ikatan bahasa yang disebut lagu. Sejak dari sejarah penulisan Weda, peranan Chanda sangat penting. Karena dengan Chanda itu, semua ayat-ayat itu dapat dipelihara turun temurun seperti nyanyian yang mudah diingat.
(4).Nirukta
Memuat berbagai penafsiran otentik mengenai kata-kata yang terdapat di dalam Weda.
(5).Jyotisa (Astronomi)
Merupakan pelengkap Weda yang isinya memuat pokok-pokok ajaran astronomi yang diperlukan untuk pedoman dalam melakukan yadnya, isinya adalah membahas tata surya, bulan dan badan angkasa lainnya yang dianggap mempunyai pengaruh di dalam pelaksanaan yadnya.
(6).Kalpa
Merupakan kelompok Wedangga (Sadangga) yang terbesar dan penting. Menurut jenis isinya, Kalpa terbagi atas beberapa bidang, yaitu bidang Srauta, bidang Grhya, bidang Dharma, dan bidang Sulwa. Srauta memuat berbagai ajaran mengenai tata cara melakukan yajna, penebusan dosa dan lain-lain, terutama yang berhubungan dengan upacara keagamaan. Sedangkan kitab Grhyasutra, memuat berbagai ajaran mengenai peraturan pelaksanaan yajna yang harus dilakukan oleh orang-orang yang berumah tangga. Lebih lanjut, bagian Dharmasutra adalah membahas berbagai aspek tentang peraturan hidup bermasyarakat dan bernegara. Dan Sulwasutra, adalah memuat peraturan-peraturan mengenai tata cara membuat tempat peribadatan, misalnya Pura, Candi dan bangunan-bangunan suci lainnya yang berhubungan dengan ilmu arsitektur.

Kelompok Upaweda:

Adalah kelompok kedua yang sama pentingnya dengan Wedangga. Kelompok Upaweda terdiri dari beberapa jenis, yaitu:
(1).Itihasa
Merupakan jenis epos yang terdiri dari dua macam yaitu Ramayana dan Mahabharata. Kitan Ramayana ditulis oleh Rsi Walmiki. Seluruh isinya dikelompokkan kedalam tujuh Kanda dan berbentuk syair. Jumlah syairnya sekitar 24.000 syair. Adapun ketujuh kanda tersebut adalah Ayodhya Kanda, Bala Kanda, Kiskinda Kanda, Sundara Kanda, Yudha Kanda dan Utara Kanda. Tiap-tiap Kanda itu merupakan satu kejadian yang menggambarkan ceritra yang menarik. Di Indonesia cerita Ramayana sangat populer yang digubah ke dalam bentuk Kekawin dan berbahasa Jawa Kuno. Kekawin ini merupakan kakawin tertua yang disusun sekitar abad ke-8.
Disamping Ramayana, epos besar lainnya adalah Mahabharata. Kitab ini disusun oleh maharsi Wyasa. Isinya adalah menceritakan kehidupan  keluarga Bharata dan menggambarkan pecahnya perang saudara diantara bangsa Arya sendiri. Ditinjau dari arti Itihasa (berasal dari kata "Iti", "ha" dan "asa" artinya adalah "sesungguhnya kejadian itu begitulah nyatanya") maka Mahabharata itu gambaran sejarah, yang memuat mengenai kehidupan keagamaan, sosial dan politik menurut ajaran Hindu. Kitab Mahabharata meliputi 18 Parwa, yaitu Adiparwa, Sabhaparwa, Wanaparwa, Wirataparwa, Udyogaparwa, Bhismaparwa, Dronaparwa, Karnaparwa, Salyaparwa, Sauptikaparwa, Santiparwa, Anusasanaparwa, Aswamedhikaparwa, Asramawasikaparwa, Mausalaparwa, Mahaprastanikaparwa, dan Swargarohanaparwa.
Diantara parwa-parwa tersebut, terutama di dalam Bhismaparwa terdapatlah kitab Bhagavad Gita, yang amat masyur isinya adalah wejangan Sri Krsna kepada Arjuna tentang ajaran filsafat yang amat tinggi.
(2).Purana
Merupakan kumpulan cerita-cerita kuno yang menyangkut penciptaan dunia dan silsilah para raja yang memerintah di dunia, juga mengenai silsilah dewa-dewa dan bhatara, cerita mengenai silsilah keturunaan dan perkembangan dinasti Suryawangsa dan Candrawangsa serta memuat ceitra-ceritra yang menggambarkan pembuktian-pembuktian hukum yang pernah di jalankan. Selain itu Kitab Purana juga memuat pokok-pokok pemikiran yang menguraikan tentang ceritra kejadian alam semesta, doa-doa dan mantra untuk sembahyang, cara melakukan puasa, tatacara upacara keagamaan dan petunjuk-petunjuk mengenai cara bertirtayatra atau berziarah ke tempat-tempat suci. Dan yang terpenting dari kitab-kitab Purana adalah memuat pokok-pokok ajaran mengenai Theisme (Ketuhanan) yang dianut menurut berbagai madzab Hindu. Adapun kitab-kitab Purana itu terdiri dari 18 buah, yaitu Purana, Bhawisya Purana, Wamana Purana, Brahma Purana, Wisnu Purana, Narada Purana, Bhagawata Purana, Garuda Purana, Padma Purana, Waraha Purana, Matsya Purana, Kurma Purana, Lingga Purana, Siwa Purana, Skanda Purana dan Agni Purana.
(3).Arthasastra
Adalah jenis ilmu pemerintahan negara. Isinya merupakan pokok-pokok pemikiran ilmu politik. Sebagai cabang ilmu, jenis ilmu ini disebut Nitisastra atau Rajadharma atau pula Dandaniti. Ada beberapa buku yang dikodifikasikan ke dalam jenis ini adalah kitab Usana, Nitisara, Sukraniti dan Arthasastra. Ada beberapa Acarya terkenal di bidang Nitisastra adalah Bhagawan Brhaspati, Bhagawan Usana, Bhagawan Parasara dan Rsi Canakya.
(4).Ayur Weda
Adalah kitab yang menyangkut bidang kesehatan jasmani dan rohani dengan berbagai sistem sifatnya. Ayur Weda adalah filsafat kehidupan, baik etis maupun medis. Oleh karena demikian, maka luas lingkup ajaran yang dikodifikasikan di dalam Ayur Weda meliputi bidang yang amat luas dan merupakan hal-hal yang hidup. Menurut isinya, Ayur Weda meliptui delapan bidang ilmu, yaitu ilmu bedah, ilmu penyakit, ilmu obat-obatan, ilmu psikotherapy, ilmu pendiudikan anak-anak (ilmu jiwa anak), ilmu toksikologi, ilmu mujizat dan ilmu jiwa remaja.
Disamping Ayur Weda, ada pula kitab Caraka Samhita yang ditulis oleh Maharsi Punarwasu. Kitab inipun memuat delapan bidan ajaran (ilmu), yakni Ilmu pengobatan, Ilmu mengenai berbagai jens penyakit yang umum, ilmu pathologi, ilmu anatomi dan embriologi, ilmu diagnosis dan pragnosis, pokok-pokok ilmu therapy, Kalpasthana dan Siddhistana. Kitab yang sejenis pula dengan Ayurweda, adalah kitab Yogasara dan Yogasastra. Kitab ini ditulis oleh Bhagawan Nagaryuna. isinya memuat pokok-pokok ilmu yoga yang dirangkaikan dengan sistem anatomi yang penting artinya dalam pembinaan kesehatan jasmani dan rohani.
(5).Gandharwaweda
Adalah kitab yang membahas berbagai aspek cabang ilmu seni. Ada beberapa buku penting yang termasuk Gandharwaweda ini adalah Natyasastra (yang meliputi Natyawedagama dan Dewadasasahasri), Rasarnawa, Rasaratnasamuscaya dan lain-lain.
Dari uraian di atas, maka jelaslah bahwa kelompok Weda Smerti meliptui banyak buku dan kodifikasinya menurut jenis bidang-bidang tertentu. Ditambah lagi kitab-kitab agama misalnya Saiwa Agama, Vaisnawa Agama dan Sakta Agama dan kitab-kitab Darsana yaitu Nyaya, Waisesika, Samkhya, Yoga, Mimamsa dan Wedanta. Kedua terakhir ini termasuk golongan filsafat yang mengakui otoritas kitab Weda dan mendasarkan ajarannya pada Upanisad. Dengan uraian ini kiranya dapat diperkirakan betapa luasnya Weda itu, mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Di dalam ajaran Weda, yang perlu adalah disiplin ilmu, karena tiap ilmu akan menunjuk pada satu aspek dengan sumber-sumber yang pasti pula. Hal inilah yang perlu diperhatikan dan dihayati untuk dapat mengenal isi Weda secara sempurna.
Disusun oleh Drs. Anak Agung Gde Oka Netra

3.6.13

FILSAFAT VEDA ( 2 )

FILSAFAT VEDA  ( 2 ) 
Oleh: IBP. Suamba

Rg -Veda

Rg-Veda merupakan dokumen tertua yang dimiliki oleh umat manusia. Kitab ini berisi dokumen pengalaman para rsi menerima wahyu Tuhan dan diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui tradisi lisan. Di dalam memperkenalkan Rg-veda kepada dunia Barat melalui terjemahannya, Ralhp T. H. Griffith seperti dikutif oleh F. Max Muller mengatakan:


“What can be more tedious than the Veda, and yet, what can be more interesting, if once we know that it is the first word spoken by the Aryan man? The Veda has two-fold interest: it belongs to the history of world and to the history of India... As long as man continues to take an interest in the history of his race, and as long as we collect in libraries and museums the relics of former ages, the first place in that long row of books which contain the records of the Aryan branch of mankind, will belong for ever to the Rg-veda”.

(“Apa yang lebih melelahkan dari Veda, dan namun, apa yang dapat lebih menarik jika sekali kita tahu bahwa ia adalah kata pertama diucapkan oleh orang-orang Arya?. “Veda mempunyai dua interes: ia termasuk ke dalam sejarah dunia dan termasuk ke dalam sejarah India... Sepanjang manusia terus berlanjut mengambil minat di dalam sejarah rasnya, dan sepanjang kita mengumpulkan di dalam perpustakaan-perpustakaan dan meseum-museum peninggalan sejarah masa lalu, tempat pertama di dalam baris panjang buku-buku yang berisi catatan-catatan orang-orang Arya bagian dan umat manusia, akan selamanya termasuk ke dalam Rg.veda ).
Terdapat empat Veda, yaitu Rg-veda, Sama-veda, Yajur-veda dan Atharva-veda. Di antara keempat tersebut Rg-veda adalah yang utama dan tertua. Tiga pertama tidak hanya selaras dalam nama, bentuk dan bahasa tetapi juga dalam isinya. Rg-veda adalah koleksi himne-himne yang dibawa oleh orang-orang Arya yang datang ke India dan luar India. Pengkoleksian ini dilakukan dengan melihat suatu kenyataan bahwa di negeri yang ia datangi sudah ada penduduk asli, disebut Dyayus yang menyembah banyak dewa. Orang-orang Arya mencoba mempertahankan, memurnikan milik yang paling berharga itu dengan tidak mencampurnya dengan pemujaan penduduk asli. Sama-veda pada intinya adalah koleksi liturgis. Sebagian besar dari padanya ditemukan dalam Rg-veda. Semuanya itu untuk dilagukan pada saat persembahan korban suci (yajna). Yajur-veda, seperti Sama-veda juga berfungsi sebagai koleksi himne yang bersifat liturgis. Himne-himne ini disusun untuk memenuhi kepentingan-kepentingan yang bersifat liturgis. Yajur-veda disusun atas formula-formula, sebagian dalam bentuk prosa dan sebagian dalam ayat, disusun sedemikian rupa digunakan dalam pelaksanaan kurban suci (yajna). Koleksi-koleksi Sama dan Yajur-veda pastilah telah dibuat dalam interval waktu antara koleksi Rg-veda dan masa Brahmana, ketika agama yang bersifat ritualistik dibangun sangat maju. Mengingat isinya yang menampakkan adanya kemiripan baik dalam bentuk, bahasa, ungkapan maupun isi maka ketiga Veda tersebut di atas disebut Veda 
Trayi. Sedangkan Atharva-veda cukup lama belum mempunyai predikat Veda, walaupun sekarang, dengan mempertimbangkan keutamaannya, ditempatkan setelah Rg-veda, karena Atharvaveda merupakan sebuah koleksi historis mengenai isi yang mandiri. Spirit berbeda yang meresapi Veda ini merupakan produksi pemikiran berikutnya. Atharva-veda memperlihatkan hasil spirit yang kompromi diadopsi oleh orang-orang Arya dalam perspektif deva-deva baru dan pemujaannnya oleh orang-orang pribumi India yang perlahan-lahan dapat ditaklukkan secara budaya oleh orang-orang Arya. Adopsi ini menjadikan Atharva-veda dan kesusastraan Veda berikutnya menampakkan keterpaduan yang harmonis antara unsur-unsur India asli, yaitu orang-orang Dyayus dan non India, yaitu peradaban orang-orang Arya yang membawa peradaban Veda dengan bahasa Sansekerta-nya.
Masing-masing Veda terdiri atas tiga bagian dikenal dengan Mantra, Brahmana dan Upanisad. Kumpulan atau koleksi mantra-mantra disebut Samhita Brahmana berisi ajaran dan kewajiban-kewajiban religi. Aranyaka dan Upanisad adalah bagian akhir Brahmana yang membahas masalah-masalah spekulasi metafisika dan filsafat. Aitareya Upanisad dan Kausitaki Upanisad termasuk ke dalam Rg-Veda, Kena dan Chandogya Upanisad termasuk ke dalam Sama-Veda; isa, Taittiriya, dan Brhadaranyaka Upanisad termasuk ke dalam Yajur-veda dan Prana dan Mundaka termasuk ke dalam Atharva-veda. Aranyaka muncul antara Brahmana dan Upanisad, dan seperti diindikasikan oleh namanya, dimaksudkan untuk objek meditasi bagi mereka yang hidup di hutan (mengasingkan diri dalam upaya penyatuan dengan Brahman). Kitab-kitab Brahmana membahas ritual yang harus dipahami dan dilaksanakan oleh mereka yang hidup berumah tangga (grahastin), tetapi begitu usianya tua ia tinggal di hutan; oleh karena itu diperlukan pengganti ritual, dan hal ini diberikan oleh Aranyaka. Di sini aspek-aspek simbolik dan spiritual yajna dikontemplasikan dan tindakan ini mengganti pelaksanaan yajna. Aranyaka mengambil kaitan posisi transisi antara ritual kitab-kitab Brahmana dan filsafat Upanisad, Sementara himne-himne (mantra-mantra) merupakan hasil kreasi para pujangga-rsi, Brahmana adalah karya-karya para pendeta; dan Upanisad merupakan hasil meditasi para filosof (i) dalam pencarian spiritualnya memahami Yang Absolut yang berada di belakang alam fenomenal ini. Agama alam himne-hime, agama hukum Brahmana dan agama spirit upaniad merup akan fase-fase perkembangan pemikiran manusia dalam menangkap misteri alam semesta ini. Kitab-kitab upaniad pada satu sisi boleh dikatakan sebagai kelanju tan pemujaan Veda, pada sisi lain merupakan sebuah protes terhadap agama yang dikembangkan dalam kitab-kitab Brahmana yang berfokus pada yajna yang bersifat ritualistik.
Rg-veda Samhita atau koleksi Rg-veda terdiri atas 1017 himne atau sukta, mencakup jumlah total sekitar 10.600 stansa. Ini dibagi menjadi delapan astaka, yang masing-masing mempunyai delapan adhyaya atau bab, yang selanjutnya dibagi lagi menjadi varga atau kelompok-kelompok. Rg-veda juga kadang-kadang dibagi menjadi sepuluh mandala atau lingkaran. Pembagian terakhir ini kelihatannya lebih populer. Madala pertama terdiri atas 191 himne dan secara kasar mengungkapkan lima belas rsi, seperti Gautama, Kanva, dan sebagainya. Deva-deva yang dituju oleh himne-himne tersebut juga berbeda-beda, mulai dari Agni, Indra dan seterusnya.
Sementara menurut A.C, Bose keempat Veda tersebut terdiri atas:
1) Rg-veda dibagi menjadi 10 buku 
(mandala) mempunyai 1028 himne 
(termasuk 11 buku-buku pelengkap) 
dan terdiri atas 10.552 stanza 
(termasuk 80 pelengkap). 
2) Yajur-veda dibagi menjadi 40 bab, mempunyai 1975 stanza dan unit-unit prosa. 
3) Sama-veda dibagi menjadi dua bagian utama mempunyai 1875 stanza. 
4) Atharva-veda dibagi menjadi dua puluh buku (kanda) dan mempunyai 730 himne di dalam 5987 stanza dan unit-unit prosa.
Oleh para indolog diyakini terdapat masa yang panjang antara komposisi dan kompilasi himne-himne itu. F. Max Muller seperti dikutip Radhakrishnan membagi periode Samhita menjadi dua periode, yaitu (1) Chanda dan (2) Mantra, Pada yang pertama himne-himne atau lagu-lagu pujaan dibuat. Karakteriktik yang menonjol di sini adalah ungkapan perasaan manusia diungkapkan dalam ekspresi-ekspresi puitis dilantunkan dalam bentuk lagu-lagu pujian. Di sini belum ada unsur kurban, masih murni pengucapan lagu-lagu pujian saja. Doa-doa adalah satu-satunya persembahan kehadapan deva-deva. Yang kedua, adalah periode koleksi atau pengelompokkan yang sistematik. Pada saat inilah himne-himne (mantra-mantra) disusun yang secara praktis yang kita warisi dalam bentuknya sekarang. Dalam masa ini ide-ide kurban suci (yajna) secara perlahan-lahan berkembang sejalan dengan chanda. Bersamaan dengan itu berkembang kitab-kitab Brahmana yang memberikan penjelasan secara rinci pelaksanaan yajna.

Usia Veda 

Turunnya Veda pun bukan pada suatu titik waktu tertentu, tetapi pada fase-fase yang berlainan diterima oleh rsi-rsi yang berbeda yang hidup pada masa yang berbeda pula. Veda diyakini abadi sepanjang masa, tidak berawal dan tidak berakhir dan diwahyukan langsung oleh Tuhan kepada para rsi di zaman dulu. Ia ada sebelum Veda itu diturunkan atau diwahyukan oleh Tuhan. Seperti halnya benua Amerika itu sendiri telah ada sebelum Columbus menemukannya. Ganapati mengatakan bahwa pandangan ini dipegang karena para sarjana belum mampu menentukan masa dari mana tradisi oral telah ada. Kepercayaan ini tidak lagi benar karena kita sekarang dalam suatu posisi menentukan masa diturunkannya Veda. Tetapi terlepas dari kenyataan ini, claim bahwa Veda merupakan wahyu langsung Tuhan kepada para rsi muncul dari suatu kebingungan antara ungkapan Veda bermakna pengetahuan secara umum dan Veda dalam pengertian kitab suci. Tidak diragukan lagi pengetahuan hanya muncul dari Tuhan, kalau tidak bagaimana penciptaan dapat terjadi yang melibatkan begitu luas pengetahuan.
Dari perspektif ilmiah, para sarjana mencoba mencari data-data untuk mengungkap masa diturunkannya Veda tersebut. Kapan Veda ini diwahyukan oleh Tuhan, belum ada kesepakatan umum yang dapat diterima oleh para sarjana. Masing-masing mempunyai pendapat yang berbeda namun semuanya menempatkan masa Veda diturunkan jauh sebelum tarikh Masehi, bahkan jauh sebelum kahadiran Buddha pada kira-kira 500 Sebelum Masehi di panggung sejarah India, Radhakrishnan mengatakan tidak hanya Veda dalam pengertian mantra-mantra tetapi juga kitab-kitab Brahmana dan Upanisad sudah ada jauh sebelum kehadiran Buddha menyebarkan pengaruhnya di India, F. Max Muller, seorang sarjana Jerman menghabiskan seluruh hidupnya untuk meneliti Veda. Muller memperkirakan Veda diturunkan pada 1200 Sebelum Masehi; Haug 2400 Sebelum Masehi dan Bal Gangadhar Tilak 4000 Sebelum Masehi.. Sementara menurut Radhakrishnan mengatakan bahwa beberapa sarjana India menempatkan himne-himne (mantra) Veda sekitar 3000 Sebelum Masehi, dan lainnya 6000 Sebelum Masehi. Tilak menempatkan himne-hirnne (man tra) Veda sekitar 4500 Sebelum Masehi, Brahmana 2500 Sebelum Masehi; Upanisad awal 1600 Sebelum Masehi. Jacobi menempatkan himne-himne pada 4500 Sebelum Masehi, Radhakrishnan sendiri menempatkan mereka pada abad kelima belas Sebelum Masehi. Perbedaan yang besar dalam hal penentuan waktu ini disebabkan karena keantikan Veda dan minimnya data-data atau catatan-catatan yang dapat dijadikan pegangan dalam penelitiannya. Inilah sisi hitam sejarah peradaban India sehingga secara kronologis sulit menentukan kapan terjadinya suatu peristiwa sejarah di masa yang begitu tua. Kondisi ini berbeda dari peradaban Yunani yang secara relatif dilengkapi oleh catatan-catatan tertulis sehingga lebih mudah menentukan periodisasinya.

Mereka memperhatikan aspek kronologis suatu peristiwa sejarah sehinga lebih mudah memahami pemikiran yang berkembang pada masa yang begitu silam. India, pada sisi lainnya lebih memperhatikan bagaimana suatu pemikiran manusia berproses dari suatu tahapan ke tahapan berikutnya. Banyaknya karya-karya sastra anonim juga suatu masalah yang dihadapi oleh peneliti sejarah peradaban India kuno. WHD No. 443 Januari 2004. 

FILSAFAT VEDA ( 1 )

FILSAFAT VEDA  ( 1 ) Oleh: IBP. Suamba


Pendahuluan 
Filsafat Veda yang dimaksudkan di dalam pembahasan berikut ini adalah pemikiran-pemikiran filsafat yang terkandung di dalam bagian mantra-mantra kitab suci Veda. Mant.ra-rnantra merupakan bagian paling tua dan seluruh kesusastraan Veda yang pada dasarnya berupa pemujaan, pujian dan permohonan anugerah kepada deva-deva yang dipuja. Jadi, penibahasan lebih banyak menekankan pada bagian mantra Veda; mencoba melihat pemikiran-pemikiran spekulatif yang halus pada mantra-mantra tersebut, Hal ml penting sebelum melangkah ke pembahasan selanjutnya, karena tradisi intelektual India sepakat memposisikan Veda sebagai titik tolak perkembangan pemikiran filsafat baik yang tergolong astika maupun nästika.
Walaupun demikian, Frauwallner mengatakan bahwa adalah kesalahan besar mengharapkan untuk menemukan di dalam Veda suatu koleksi konsisten karya-karya filsafat. Veda pada awalnya tidak ada kaitannya dengan filsafat. Lebih baik mengatakan filsafat telah memulai jalannya di sini secara perlahan-lahan melalui perkembangan Veda itu sendiri, mulai dari Mantra, Brahmana, Aranyaka dan Upanisad. Filsafat India (darsana) mendapatkan benih-benihnya di dalam mantra-mantra Veda, namun pikiran-pikiran spekulatif metafisika tersebut masih belum sistematis yang layak disebut. sistem filsafat. Cukup banyak ada hal-hal yang tidak konsisten di dalamnya. Unsur-unsur mitos atau legenda memang perlu 
dipisahkan dari unsur-unsur filsafatnya manakala kita ingin melihat Veda sebagai titik awal kesusastraan India dan fase awal perkembangan filsafat India. Sebagai kelanjutan proses pérkembangan intekktual para rsi di zaman silam, Veda khususnya bagian mantra samhita-nya dapat dipandang sebagai titik tolak perkembangan filsafat India sebelum mendapatkan bentuknya yang mapan. Sebagai otoritas tertinggi, Veda ditanggapi secara positif maupun negatif oleh para filosof. Apapun jenis tanggapan tersebut, Veda diposisikan sebagai cikal bakal perkembangan sistem filsafat India. Sebagai dokumen literer Veda adalah tonggak perkembangan filsafat.
Tidak hanya di bidang filsafat, kebudayaan dan peradaban India secara umum mengalir dari nilai-nilai Veda. Menyinggung maha luasnya cakupan kesusastraan India, E. Frauwallner mengatakan filsafat India adalah lautan maha luas yang sulit dilayari. Tidak ada ras bangsa di dunia yang mempunyai kesusastraan filsafat dan agama yang dapat dibandingkan dengan kesusastraan India di dalam ukuran, kekayaan, dan keragaman isi. 
Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya telah mampu diberlanjutkan melalui reinterpretasi, reposisi dan reformasi dilakukan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pembelajaran di dalam suatu tradisi intelektual atau garis perguruan (guru parampara). Tantangan dan cobaan dari pihak-pihak luar atau asing yang datang ke India maupun pertentangan-pertentangan internal menyebabkan para pemikir India kuno dan moderen 
mencari jalan agar peradaban besar ini bisa tetap diteruskan dari satu masa ke masa berikutnya melalui kebebasan berfikir dan berkreasi. Liberalisme di dalam pemikiran ini memungkinkan peradaban Veda berkembang sesuai dengan masanya sekaligus menjawab tantangan masa tersebut. Paham-paham theistik dan atheistik; monistik dan pluralistick skeptik dan agnostik hidup berdampingan sebagai wujud keragaman dan keniscayaan peradaban.


Studi-studi India oleh sarjana Barat seperti dipelopori Celebrooke, Max Muller, Macdonell, Winternitz, Griffith, Bloomfield, Whitney, Rys Davis, dan lain-lain didorong oleh semangat rumpun bangsa atau ras Indo-Eropa telah menyebarkan kebudayaannya melalui bahasa Sansekertanya tidak hanya ke India (Bharata) tetapi juga ke Asia Barat, seperti Persia. Kitab suci Avesta yang merupakan kitab suci agama Zoroaster banyak mempunyai kesamaan dengan konsep-konsep di dalam Veda. Secara linguistik ditemukan adanya titik terang bahwa bangsa Arya yang datang ke India jauh sebelum tarikh Masehi mempunyai leluhur yang sama dengan ras Eropa. Disamping itu, penampilan fisik mereka mempunyai kemiripan. Analisis inilah yang umum diterima oleh para sarjana Indologi sementara ini.
Pembicaraan pada filsafat India yang lebih komprehensif pasti melibatkan telaah terhadap Veda dan kesusastraan Veda (Vedic literature). Dari sini akan diketahui bagaimana suatu pemikiran ritual yang mendominasi kitab-kitab Brahmana berkembang menjadi filsafat monistik pada kitab-kitab upanisad; pemujaan eksternal menjadi internal yang reflektif dan kontemplatif.
Beberapa ide-ide fundamental Veda merefleksikan karakter unik agama dan filsafat. Pendekatan Veda terhadap agama, alam semesta, kehidupan manusia, masyarakat dan Makhluk tertinggi, dalam beberapa aspek esensial, sangat berbeda dari agama-agama yang tergolong Semitis, Veda mengandung keaneka-ragaman doktrin, kepercayaan dan praktek agama, tetapi semuanya ada dalam suatu kesatuan dan harmoni.
Pembahasan berikut mencoba melihat Veda dan perspektif filsafat sebagai landasan perkembangan tradisi filsafat India.

Veda, Dokumen Tertua 
Kitab suci Veda, khususnya bagian mantra samhita, warisan tak ternilai perdaban India kuno diyakini sebagai dokumen tertua dan otentik yang tidak hanya dimiliki oleh ras Indo Eropa tetapi juga ras di seluruh dunia, Samhita merupakan koleksi atau kumpulan mantra yang membentuk Veda dan umumnya dikenal pula dengan Veda. F. Max Muller mengatakan:
“Tidak seorang pun pernah meragukan bahwa di dalam kitab suci Veda kita memiliki monumen tertua bahasa dan pikiran orang-orang Arya, dan; di dalam pengertian tertentu, tentang kesusastraan orang-orang Arya, yang hampir merupakan sebuah jalan yang menakjubkan, telah dijaga dan disampaikan kepada kita selama berabad-abad yang panjang, utamanya melalui tradisi oral”.
Sementara A.C. Bose mengatakan bahwa kitab-kitab upanisad telah menarik perhatian luas tetapi Veda yang diterima sebagai sumbernya selama ini telah diperlakukan lebih kurang sebagai buku-buku tertutup. Adalah benar bahwa porsi-porsi mereka sulit diinterpretasikan dan telah menyebabkan perbedaan-perbedaan pendapat, tetapi untungnya banyak terdapat hal-hal menarik di dalamnya, yang tidak menyebabkan terjadinya banyak kesulitan. Pada tempat lain ia mengatakan kitab-kitab Veda, sumber kebudayaan dan agama India usianya sangat tua. Karena alasan ini, ada kecendrungan di antara sarjana berfikir lebih banyak pada signifikansi anthropologinya dari pada daya tarik puitik dan religinya. Tentu perlakuan ini tidaklah adil terhadap warisan agung peradaban dunia. Objek studi seperti itu memandang Veda dan kesusastraannya sebagai benda mati yang tidak mempunyai nilai-nilai praktis. Interaksi antara peneliti dengan teks-teks Veda akan memungkinkan adanya apresiasi di pihak peneliti walaupun berisiko terhadap keobjektifan atau keilmiahan hasil penelitiannya.
Peradaban India berkembang dan dijiwai nilai-nilai Veda. Orang-orang Arya yang datang ke India jauh sebelum Masehi membawa peradaban Veda, yaitu Rg-Veda dengan bahasa Sansekertanya. Namun, sebelumnya di India telah berkembang peradaban yang sangat maju yang bercorak Sivaistis seperti diperlihatkan oleh penggalian-penggalian arkeologis di Harappa dan Mohenjodaro sebagai bagian dari peradaban lembah sungai Indus. Dalam perjalanan waktu bangsa Arya mengambil hal-hal non Veda ke dalam Veda sehingga nampak adanya persenyawaan antara keduanya pada kitab-kitab Veda setelah Rg-Veda, khususnya pada Atarva-veda. Demikian juga, sistem filsafat (darsana) mendapatkan benih-benih ide filsafat dari Veda.
Kitab suci Veda terdiri dari banyak buku atau kitab yang menyangkut berbagai aspek kehidupan dengan cakupan yang sangat luas baik spiritual maupun sekuler. Kesusastraan Veda mengalir dari Veda baik yang tergolong Sruti (wahyu Tuhan) maupun smrti (dharmasastra). “Veda” artinya pengetahuan. Segala bentuk pengetahuan dapat digolongkan ke dalam Veda.WHD No. 443 Januari 2004.

Apakah Bali akan tetap Hindu?

Apakah Bali akan tetap Hindu?

Mengapa Bali tetap Hindu?


Setelah keruntuhan Majapahit pada abad 15, hampir seluruh Nusantara menjadi Islam, kecuali beberapa wilayah di Indonesia Timur yang Kristen. Bali, menurut mendiang Clifford Geertz, sebuah pulau Hindu yang munggil, menyembul di tengah samudera Islam. Mengapa Bali tetap Hindu? Apa yang menghalangi kerajaan-kerajaan Islam di Jawa masuk ke Bali? Satu sebab yang luas dipercaya adalah bahwa para tokoh Hindu, seperti Danghyang Nirartha telah membangun benteng niskala di seluruh pesisir Bali yang tidak bisa ditembus oleh para penyerbu dari luar. Mungkin saja hal ini benar dari sudut niskala. Tetapi Robert Pringle dalam bukunya "A Short History of Bali, Indonesia’s Hindu Realm" memberikan analisis dari aspek sekala yang masuk akal.
Di bawah subjudul "Why Bali Remained Hindu" Pringle menulis sebagai berikut : Kenapa, setelah keruntuhan Mahapahit, Bali tetap jauh tinggi (aloof) dari kecendrungan kepulauan Nusantara dan gagal memeluk Islam? Geografi tentu saja bukan jawaban yang cukup; seperti dicatat sebelumnya, Selat Bali yang sempit dan dangkal, yang memisahkan pulau ini dari Jawa, tidak pernah merupakan hambatan serius bagi perobahan. Tentu saja ada hambatan-hambatan kultural bagi penetrasi Islam – kegemaran akan daging babi adalah hal yang sering dikutip – tetapi hambatan yang sama ada di Jawa, di mana konversi kepada Islam sungguh-sungguh, sekalipun sering hanya secara nominal, bersifat universal. 


Orang-orang Bali tidak pernah secara sungguh-sungguh anti Islam. Komunitas Islam terus ada (di Bali) paska Majapahit. Puri-puri dan para penguasa Bali tetap menerima kehadiran orang Muslim sebagai pedagang dan menyewa mereka sebagai tentara. 


Waktu memberikan orang-orang Bali Hindu ruang nafas politik. Tidak ada kerajaan Islam yang kuat di Jawa sampai kemunculan Mataram, yang mulai pada akhir abad 16, hampir seratus tahun setelah keruntuhan Majapahit. Sementara Mataram mampu mengusir orang-orang Bali dari Belambangan secara temporer, Gelgel dan kerajaan penerusnya tetap kuat yang membuat invasi ke Bali menjadi sulit, dengan atau tanpa dukungan Belanda. (Tambahan dari saya : Bahkan Bali, diwakili oleh Buleleng atau Mengwi mampu menguasai sebagian Jawa Timur. Karangasem menguasai Lombok. Ketika Dalem Samprangan berkuasa, kekuasaannya meliputi Sumbawa. Bali pernah mempersiapkan diri untuk menyerang Mataram).


Bagaimanapun juga, Mataram pertama-tama sibuk dengan saingan-saingannya di Jawa, dan kemudian dengan Belanda, tampaknya tidak tergoda oleh pertimbangan untuk melakukan pengislaman dengan api dan pedang di antara berbagai kantong orang-orang tidak percaya sepanjang pesisir sebelah timur Jawa.


Belakangan, ekspansi Belanda melemparkan Mataram pada posisi defensif. Ketika kekuatan Belanda semakin berkembang, yang akhirnya membuat mereka mampu menguasai saingan-saingan Indonesianya, keuntungan politik yang mungkin didapat oleh para penguasa Bali melalui konversi ke Islam semakin berkurang dan akhirnya lenyap sama sekali. (hal 70).


Kutipan di atas berasal dari tulisan saya di Media Hindu no 39 dengan judul "Mengapa Bali Tetap Hindu." Sekarang judulnya saya robah agar bernada pesimis. Sebab jika nadanya optimis, akan diabaikan atau dicemoh. Tetapi jika nadanya pesimis mudah-mudahan ada yang marah atau tersinggung, lalu bangun dari kantuknya. Bagi yang apatis tetap akan apatis, apakah nadanya optimis atau pesimis.


Sekala dan Niskala.


Penjelasan singkat di atas menyatakan bahwa ketahanan Hindu di Bali disebab oleh unsur niskala dan sekala. Mana yang lebih dominan? Menurut saya adalah unsur sekalanya. Kenapa?


Kita jawab dulu apa yang dimaksud dengan sekala dan niskala, dalam pengertian umum saja. Sekala adalah segala hal yang dapat kita lihat, kita raba, hal-hal dari dunia materi ini. Niskala, adalah hal-hal yang tidak dapat dilihat atau diraba, tetapi kita yakini keberadaannya. Atau hal-hal yang bersifat kerohanian seperti kepercayaan akan adanya Tuhan, para Dewa/Betara, sorga, neraka, moksha dll. 


Ketika Hindu berjaya pada jaman Majapahit, unsur niskalanya pasti ada. Tetapi karena unsur sekala diabaikan, maka Hindu runtuh dengan mudah. Majapahit runtuh bukan oleh serbuan tentara asing, tetapi oleh keyakinan asing yang diterima tanpa reserve oleh penguasa dan juga kawula yang beritikad baik dan sangat toleran tetapi tidak waspada. 


Menyerahkan pemeliharaan agama Hindu hanya kepada yang niskala saja, sudah terbukti gagal. Dua buah bangunan yang sama besar, luas dan tingginya, dibuat dari bahan yang sama di tempat yang berdampingan. Satu bangunan untuk tempat ibadah. Bangunan lain untuk kasino, pusat kenikmatan, termasuk yang bersifat seksual. Bangunan pertama tidak diberi penangkal petir, karena yakin Tuhan memelihara "rumahnya". Bangunan kedua, karena sadar tempat ini sangat berbau duniawi diberi penangkal petir. Ketika petir terjadi di wilayah itu, kemungkinan yang akan rusak terbakar adalah "rumah" Tuhan itu. Sedangkan bangunan kasino akan selamat. Hukum alam tidak akan membedakan bangunan suci atau bangunan duniawi, termasuk yang digolongkan maksiat sekalipun.


Di dalam perang antara Kaurawa dengan Pandawa di Kuruksetra, hal itu juga tercermin dengan jelas. Krishna yang merupakan lambang niskala, hanya berfungsi sebagai penasehat. Arjuna, yang merupakan simbol niskala, harus melakukan peperangan untuk menjaga kebenaran. Kenapa demikian? Manusia memiliki otonominya sendirinya; memiliki kebebasan untuk memilih dharma atau adharma. Manusia harus aktif menjaga kebenaran dan kedamaian. Dengan kata lain, yang niskala menghormati kebebasan yang sekala. 


Kembali ke inti pembicaraan, Bali tetap Hindu, karena secara militer waktu itu sangat kuat. Sebelum abad 19 pulau Bali dihindari oleh pelaut asing, karena penduduknya dianggap sangat "savage" Opini ini berobah setelah maskapai pelayaran Belanda, untuk kepentingan pariwisata, membentuk opini Bali sebagai pulau sorga yang damai dan eksotik. 


The Battle of Mind.


Sekarang tentu saja kita tidak perlu menjaga Hindu di Bali secara militer. Sebab "pertempurannya" sekarang tidak memakai pedang, tombak atau keris. Tetapi memakai senjata yagn jauh lebih ekfektif yaitu intelek - "The Battle of Mind" Medannya, dari ruang publik sampai ruang privat. Kotbah-kotbah umum, apakah itu namanya tablig, atau kotbah penyembuhan. Buku-buku pelajaran, pengajaran dan kuliah-kuliah agama di ruang kelas. Tulisan di media massa. Berita, sineteron, kotbah di media elektronik. Yang terakhir ini yang paling hebat. Ia menembus masuk ke ruang-ruang pribadi setiap orang, termasuk kamar-kamar tidur orang-orang Hindu, yang yang berpendidikan tinggi ataupuan yang buta huruf.


Di sinilah kelemahan kita. Orang Hindu hampir tidak ada yang memiliki media massa nasional, cetak maupun elektronik. Media massa ini, khususnya tv, ada beberapa yang memberikan kesempatan bagi siar Hindu. Namun kita belum bisa memanfaatkannya dengan baik. Tv di Bali, yang memberikan slot cukup besar kepada siar Hindu, mutu siarannya masih lemah. Beberapa waktu lalu di sini ada posting yang menyatakan geli mendengar siaran Hindu di tv lokal itu. Bila dibandingkan dengan kotbah pendeta atau ulama dari agama lain yang membangkitkan semangat dan motivasi, dharma wacana orang Hindu masih jauh. 


Di dalam "the Battle of Sword" orang bisa terluka atau mati. Di dalam "the Battle of Mind" pasti tidak akan ada yang luka apalagi mati. Tetapi justru ada kesan orang-orang Bali enggan atau mungkin takut terlibat di dalam "the Battle of Mind." Dulu, seorang pejabat tinggi Ditjen Bimas Hindu dan Buddha, wanti-wanti berpesan agar Media Hindu tidak memuat berita tentang orang-orang agama lain yang kembali (rekonversi) ke Hindu. Padahal berita itu ada sumbernya yang jelas, dan itu terjadi di India. Di tv Indonesia ada berbagai tayangan tentang orang-orang yang baru beralih agama, apakah ke Islam atau Kristen. Mengapa dia takut? Saya tidak tahu karena ia tidak bicara langsung kepada saya. Dia memang bukan representasi seluruh masyarakat Hindu di Indonesia. Tetapi dia juga bukan satu pengecualian.


Pejabat tinggi ini juga meminta kepada Sekolah Tinggi Agama Hindu di Jakarta atau Lampung untuk tidak memberi kuliah perbandingan agama. Bila kita tidak tahu agama-agama lain, bagaimana kita dapat melakukan dialog kritis dengan mereka? Melakukan dialog kritis tidak berarti membenci suatu suatu agama atau pemeluk agama tersebut. Bahkan dialog intelek tidak bisa dilakukan berdasarkan kebencian. Sebab kebencian akan menggelapkan rasio dan dengan demikian melemahkan argumennya.


Oleh karena itu jangan buru-buru melompat pada kesimpulan bahwa memberikan pandangan kritis atau sekedar mengungkap fakta sejarah adalah penghujatan atau upaya menjelek-jelekkan. Agama, seperti ideology, memerlukan kritik untuk memperbaiki dirinya. Sama seperti kita, kita telah mengambil kritik dari luar maupun dari dalam untuk memperbaiki perilaku dan pemahaman keagamaan kita. Jadi setiap pemeluk agama harus bersikap dewasa di dalam hal ini. Kita telah menunjukkan kedewasaan, ketika dikatakan kafir dan penyembah berhala kita tidak berang dan menggangkat pedang.


Tetapi kita perlu mengangkat pedang yang lain, yaitu pedang intelek, untuk memberi penjelasan, bahwa kita bukan menyembah berhala, tetapi menyembah Tuhan, Tuhan yang jauh lebih baik dari tuhan mereka, Tuhan yang adil. Tuhan bagi seluruh mahluk, bukan tuhan yang berpihak pada sekelompok orang, yang menganjurkan kebencian dan kekerasan kepada kelompok yang lain. Dan dengan cara yang lebih indah dan lebih pula.


Dr David Frawley, direktur satu Yoga Center di AS, mengharapkan lahirnya para ksatriya intelektual untuk menjaga eksistensi Hindu. 


Analogi Sumur dan Rakit.


Seorang penganjur bahwa semua agama adalah sama, pernah menulis di Media Hindu, justru karena semua agama sama maka orang tidak perlu pindah-pindah agama. Secara logika pernyataan ini tepat. Kalau semua agama sama buat apa pindah agama? Tetapi ia memberikan argumen yang menarik. Ibarat orang menggali sumur; baru menggali lima meter tidak menemukan air, lalu pindah ke tempat lain, di tempat baru ini ia menggali lima meter, tidak juga bertemu air. Bila terus demikian, maka penggali sumur itu akan sia-sia saja. Oleh karena itu setiap orang seharusnya terus menggali sedalam mungkin, sampai ia menemukan air yang dicarinya. 


Di dalam praktek tidaklah demikian. Kalau setelah menggali sedalam 10 meter, lalu yang ditemukan batu karang, untuk apa diteruskan? Atau bertemu air, tetapi baunya busuk, tentu orang akan pindah mencari lokasi lain untuk digali.


Tetapi secara analogi ini juga tidak tepat. .Seorang teman saya, orang Protestan, dengan gelar master dobel, satu dari AS, satu dari Australia, berkata kepada saya. "Bapak akan puas, bila dapat menundukkan diri sendiri. Karena agama bapak meminta bapak melihat ke dalam. Kalau saya lain lagi. Saya baru akan puas, ketika saya dapat menundukkan bapak agar ikut agama saya."


Dia adalah orang awam sama seperti saya. Tetapi pendapatnya itu ada dasarnya dalam Injil, yaitu perintah bagi setiap orang Kristen untuk pergi ke segala penjuru bumi, dan menjadikan bangsa-bangsa murid Yesus. Islam jug demikian. Nabi mereka, sampai akhir hayatnya meminta para pengikutnya untuk terus berjihad menjadikan Islam satu-satunya agama bagi dunia. 


Bila semua agama memerintahkan pengikutnya untuk "menggali sumur" atau melihat ke dalam sampai berjumpa dengan "dirinya sendiri" dunia ini pasti akan aman dan damai. Tetapi nyatanya tidak demikian. 


Ketika si Hindu sibuk menggali sumur semakin dalam, si Kristen dan si Islam sibuk berebut wilayah sekitar sumur. Ketika si Hindu kembali dari kedalaman bumi membawa air murni sambil meproklamirkan "semua air sama saja" ia menemukan air itu hanya berguna bagi dirinya sendiri, karena wilayahnya sudah dimiliki si Kristen atau / bersama si Islam. Si Kristen dan si Islam tidak membutuhkan air yang diambil dari inti bumi. Bagi mereka air sungai atau pancuran sudah cukup.


Apakah si Hindu harus memasang pagar atau menyewa centeng untuk menjaga wilayahnya? Ini bertentangan dengan prinsip yang diyakininya. Bila ia melakukan itu, artinya ia melaksanakan apa yang ditolaknya, bahwa agama mengkotak-kotakkan dan bahwa agama tidak perlu dibela. Jadi ia dapat lepas dari dilemma ini, hanya bila ia melepaskan identitas Hindunya.


Analogi rakit, agama hanya sekedar rakit, agak berbeda tetapi menghadapi dilemma yang sama. Analogi ini ada benarnya. Tetapi siapapun yang membuat analogi ini hanya melihatnya dari agama Hindu saja. Bagi Hindu dan juga Buddha, benar, agama hanyalah sarana untuk menyeberangkan manusia dari wilayah kehidupan sampai di batas wilayah kematian (atau kehidupan yang lain). Di dunia kehidupan yang lain itu agama memang tidak disebut-sebut lagi.


Tetapi bagi keyakinan Kristen atau Islam tidak demikian. Agama tidak berhenti sampai di tepi kehidupan dunia lain itu, yang mereka sebut dunia akhirat. Agama terus masuk sampai ke inti kehidupan akhirat. Bagi keyakinan orang Kristen, keyakinan mereka akan kebenaran Yesus sebagai Tuhan, atau Putra Allah, yang menyelamatkan mereka. Bagi orang Islam keyakinan mereka kepada Islam dan Muhammad sebagai Nabi akan menyelamakan atau menjamin sorga bagi mereka. Menurut Islam, ketika ia mati dan sampai di pintu alam kubur, dua orang malaikat akan menanyai apa agama dan siapa nabinya. Bila agamanya bukan Islam dan nabinya bukan Muhammad maka jiwa orang itu akan mendapat siksaan kejam. Dan di dalam persidangan pada hari Pengadilan Akhir, Muhammad akan memberi rekomendasi siapa yang masuk sorga atau neraka secara abadi. Allah akan memerima rekomendasi itu.


Di dalam kedua agama ini keyakinan, bukan perbuatan yang menentukan status seseorang di dunia akhirat. Apakah keyakinan semacam ini absurd atau tidak, itulah keyakinan yang dipercayai oleh mereka. 


Jadi di sini analogi rakit menghadapi kesulitannya sendiri. Dan ia hanya melepaskan diri dari kesulitan ini, dengan melepaskan indentitas Hindunya. Tapi apa perdulinya dengan Hindu? Toh hanya rakit. Yang penting ia bebas. Sebuah solusi, yang sayangnya, bersifat mementingkan diri sendiri. Ego.


Kesamenis : Sekutu missonaris 


Pendirian atau pernyataan, seperti "semua agama adalah sama", "agama hanya sekedar rakit", "Sang Hyang Widdhi, Sang Hang Yesus, Allah SWT sama saja" oleh Dr Frank Gaetano Morales (Semua Agama Tidak Sama) disebut sebagai Radical Universalism, atau saya terjemahkan sebagai kesamensime. Sikap ini biasanya dianut oleh orang-orang Hindu. Pada saat lembaga dakwah atau missi agama-agama lain, khususnya Kristen dan Islam begitu gencar menyebarkan agamanya, sikap ini hanya melemahkan posisi Hindu di dalam "the Battle of Mind." Lebih-lebih jika yang mengatakan itu tidak pernah mempelajari agama-agama lain. Ini adalah sikap arogan dari orang yang tidak tahu. Dan sikap semacam ini akan sangat menguntungkan para missionaries, Kristen ataupaun Islam, di dalam upaya mengkonversi orang-orang Hindu di Bali.


Sejalan dengan mereak adalah kelompok yang ingin memisahkan budaya "Bali dengan agama Hindu" untuk membenarkan penggunaan idiom-idiom, dan praktek-praktek Hindu Bali oleh agama-agama lain. "Karena itu adalah budaya Bali, bukan agama Hindu," katanya. Ini adalah sikap permisif yang bersumber pada kemalasan berpikir atau bahkan impotensi intelektual, yang makin memperlemah pertahanan Hindu.


Mempercepat "Perobahan" Bali.


Ada kelompok sampradaya yang berupaya untuk membuang ritual Hindu (ala) Bali dan menggantinya dengan hanya agnihotra, homayajna, atau ritual khas sampradayanya. Tetapi ada juga kelompok sampradaya, yang di samping melakukan ritual sesuai aturan sampradayanya juga menerima ritual Hindu ala Bali. Saya mendapat informasi kelompok sampradaya Hare Krishna, di Bali terbagi dalam dua kelompok. Yang menolak upakara ala Hindu-Bali yang tergabung dalam SAKKHI, dan yang menerima, yaitu yang tergabung dalam ISKCON. Pengikut Sai Baba dalam Anggaran Dasarnya terakhir menyatakan diri bukan sampradaya, tetapi hanya kelompok untuk studi Weda. Jika info ini tidak benar silahkan dikoreksi. 


Dua orang sulinggih yang menjadi tokoh PHDI Besakih dan pimpinan tertinggi Parisada, mengenai ritual kelompok sampradaya yang dilakukan di lapangan Renon pada awal tahun 2006, mengatakan "Itu agama baru. Mereka seharusnya melakukan itu di dalam tempat ibadah mereka sendiri. Bukan di tempat umum!" Pernyataan kedua sulinggih ini saya dengar langsung di suatu griya di Denpasar. Kalau sulinggih dari "kelompok Besakih" saja sudah berpendapat demikian, apalagi sulinggih dari kelompok lain.


Dengan dukungan strategi dakwah yang terencana dan berpengalaman, dana untuk perbedayaan ekonomi dan pendidikan, media massa untuk pembentukan opini, dan birokrasi (dalam kasus Islam) yang memberi kemudahan fasilitas ataupun kesempatan, para missonaris, baik Kristen maupun Islam, akan memperoleh manfaat besar dari ketiga kelompok di atas. Ketiga kelompok di atas, kaum kesamenis, "separatis" yang membedakan antara budaya Bali dengan agama Hindu, dan sampradaya yang membuang ritual ala Hindu Bali, bergabung jadi satu, akan merupakan akselarator perobahan Bali dari Hindu, apakah menjadi Bali Kristen atau Bali Islam. Dengan kata lain, apa yang dilakukan oleh ketiga kelompok ini adalah semacam bunuh diri massal.


Pendapat saya belum tentu benar. Tapi tolong tunjukkan kepada saya, dari segi apa ketiga pendapat atau kelompok di atas memperkuat Hindu di Bali?


Om santi, santi, santi Om


Ngakan Putu Putra.
Source : HDNet